Followers

Monday 23 April 2012

KEWAJIPAN BERMAZHAB


KEWAJIBAN BERMAZHAB

- Manusia dalam masalah furu' (al ahkam asy Syar'iyyah) terbagi kepada dua:
1. Mujtahid
2. Muqallid الأنبياء: ٧، النحل:43

التقليد هو: اتباع قول إنسان دون معرفة الحجة على صحة ذلك القول وإن توفرت معرفة الحجة على صحة التقليد نفسه (اللامذهبية، ص69)

- Perkara yang disepakati, 3 hal:
1. Tidak ada kemestian bagi seorang yang bertaqlid terhadap sebuah mazhab untuk terus dalam mazhabnya.
2. Seorang yang bertaqlid terhadap sebuah mazhab, lalu nyata baginya sebuah masalah dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut baik dari Al Quran maupun As Sunah dan dia faham metode ijtihad, wajib baginya untuk berlepas dari mazhab imamnya dan haram baginya untuk bertaqlid sejauh kemampuannya dalam berijtihad. (Ijtihad dan Taqlid itu yatajazza').
3. Keempat-empat imam mazhab berada dalam kebenaran. Dengan makna: ijtihad mereka menjadikan mereka mendapat ampunan dari Allah Swt, selama ia tidak pasti apa yang dikehendaki oleh Allah dalam masalah-masalah ijtihadiyah tersebut. Maka kewajiban baginya adalah menempuh jalan yang disampaikan oleh ijtihadnya.

- Dalil-dalil kewajiban taqlid bagi orang-orang yang belum mencapai derajat ijtihad:
1. Dari Al Quran: 
a. Firman Allah Swt: الأنبياء: ٧، النحل:43
b. Firman Allah swt: التوبة: ١٢٢

2. Ijma' para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Para sahabat berbeda dalam tingkatan ilmu mereka. Tidak semua mereka mampu berijtihad. Sebahagian mereka ada yang mufti/mujtahid dan jumlah mereka sedikit. Sebahagian yang lain adalah mustafti/muqallid dan inilah kebanyakan mereka.
Berkata Imam Al Ghazaly dalam Al Mustashfa:
ونستدل على ذلك بمسلكين: أحدهما إجماع الصحابة فإنهم كانوا يفتون العوام ولا يأمرونهم بنيل درجة الاجتهاد وذلك معلوم على الضرورة والتواتر من علمائهم وعوامهم. 
(المستصفى في علم الأصول، تأليف: محمد بن محمد الغزالي أبو حامد، 1/372، دار الكتب العلمية - بيروت - 1413، الطبعة: الأولى، تحقيق: محمد عبد السلام عبد الشافي) 

3. Dalil 'Aqli: Sekiranya setiap orang diwajibkan untuk berijtihad niscaya akan hancurlah dunia ini karena tidak ada yang memperhatikan pertanian, kedokteran danseterusnya. Karena itu setiap orang awam maupun orang yang alim namun belum mencapai derajat istinbat dan ijtihad, tidak ada pilihan bagi mereka selain bertaqlid kepada mujtahid.

Berkata imam Syathibi:
فتاوي المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين. 
(الموافقات في أصول الفقه، تأليف: إبراهيم بن موسى اللخمي الغرناطي المالكي، 4/292، دار النشر: دار المعرفة - بيروت، تحقيق: عبد الله دراز)

- Iltizamnya seorang muqallid terhadap sebuah mazhab tidak dilarang, sebagaimana I'tiqad seorang muqallid harus mengikuti mazhabnya dan tidak boleh berpaling kepada mazhab yang lain juga dilarang.

Demikian pula I'tiqad seseorang harus iltizam ganti mazhab setiap hari atau dari satu waktu kewaktu yang lain juga salah. Hal ini berdasarkan beberapa dalil:
1. Tidak ada dalil yang mengharuskan seseorang harus iltizam dengan satu mazhab, atau harus ganti-ganti mazhab. Sabda Rasulullah saw:
عن عَائِشَةَ قالت قال رسول اللَّهِ  كُلُّ شَرْطٍ ليس في كِتَابِ اللَّهِ عز وجل فَهُوَ مَرْدُودٌ وَإِنِ اشْتَرَطُوا مِائَةَ مَرَّةٍ (رواه أحمد والشيخان والبزار والطبراني)

2. Qiyas kepada qiraat mutawatirah dari Rasulullah saw. Tidak ada kemestian keatas setiap muslim untuk membaca setiap hari dengan qiraat yang baru.

3. Masa Sahabat dan tabi'in telah berlalu. Namun tidak diriwayatkan adanya larangan dari seorang imam pun yang melarang seseorang yang telah bertaqlid dengan seorang imam harus terus ikut imam mazhabnya tersebut. Sebagaimana tidak ada juga yang memerintahkan seorang muqallid agar berpindah-pindah mazhab, atau agar mengikuti setiap mazhab dalam waktu yang berbeda. 

Bahkan kenyataannya: setiap khalifah mengumumkan imam yang diangkat untuk menjadi mufti. Seperti 'Atha bin Abi Rabah dan Mujahid yang menjadi mufti di Mekkah hingga beberapa waktu. Dan tidak ada yang memungkirinya. Penduduk Iraq hingga beberapa waktu hidup dalam mazhab Abdullah bin Mas'ud, sebagaimana penduduk Hijjaz bermazhab dengan Abdullah bin Umar.

Berkata Syamsuddin Adz Dzahaby:
((الفقهاء المالكية على خير واتباع وفضل إن سلم قضاتهم ومفتوهم من التسرع في الدماء والتكفير.....
الفقهاء الحنفية أولو التدقيق والرأي والذكاء والخير من مثلهم إن سلمو من التحيل والحيل على الربا وإبطال الزكاة....
الفقهاء الشافعية أكيس الناس وأعلم من غيرهم بالدين فأس مذهبهم مبني على اتباع الأحاديث المتصلة وإمامهم من رؤوس أصحاب الحديث ومناقبه جمة فإن حصلت يا فلان مذهبه لتدين الله به وتدفع عن نفسك الجهل فأنت بخير...
وأما الحنابلة فعندهم علوم نافعة وفيهم دين في الجملة ولهم قلة حظ في الدنيا والجهال يتكلمون في عقيدتهم ويرمونهم بالتجسيم وبأنه يلزمهم وهم بريئون من ذلك إلا ا لنادر والله يغفر لهم...))
(زغل العلم والطلب، تأليف: شمس الدين الذهبي،33-39)

(( فلا تعتقد أن مذهبك أفضل المذاهب وأحبها إلى الله تعالى فإنك لا دليل لك على ذلك ولا لمخالفك أيضا بل الأئمة رضي الله عنهم على خير كثير ولهم في صوابهم أجران على كل مسألة وفي خطئهم أجر على كل مسألة))
(زغل العلم والطلب، 35)

- Kapan kemestian kita untuk berhenti dari bertaqlid terhadap sebuah mazhab dan seorang imam?
Ada dua kondisi yang haram bagi seorang muqallid untuk terus mengikuti mazhab imamnya:

1. Jika ia mampu mengetahui sebuah permasalahan dengan berbagai macam dalilnya dan metode istinbatnya.

2. Jika ia mendapatkan sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab imamnya. Dan ia telah tahu pasti kesahihan hadits tersebut dan kesahihan dalalahnya hadits tersebut terhadap sebuah hukum. Hal ini karena semua imam mewasiatkan para pengikut dan sahabat2nya agar mengambil hadits dan meninggalkan mazhabnya jika kedapatan bertentangan dengan hadits yang shahih dan dalalahnya yang sudah pasti. Namun untuk mengatahui hal ini dibutuhkan banyak syarat.

- Dampak jika semua muslim terjerumus dalam pemikiran tidak wajib bermazhab:
Sama seperti orang yang ingin berobat, ingin membangun bangunan, ingin membuat mesin, tanpa bertanya kepada yang ahli dibidangnya seperti dokter, arsitek dan ahli mekanik.

Perlukah Umat Islam Bermazhab? (mempertanyakan kewajiban bermazhab)

BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan seorang muslim tak pernah lepas dari nilai ibadah jika diniatkan untuk Allah, dalam implementasi setiap apa yang ia kerjakan tak pernah luput dari tatanan yang diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah yang disampaikan oleh Rasulullah baik secara lisan, tulisan, perbuatan, dan keputusan-keputusan yang muncul melalui cara berijtihad beliau.
Islam setelah masa Rasulullah telah berkembang ke berbagai belahan dunia dengan karakteristik daerah yang berbeda-beda. Dalam perkembangannya banyak bermunculan ulama-ulama yang membantu tersebarnya agama Islam. Namun hal tersebut juga berakibat pada perbedaan pendapat yang muncul dikalangan ulama itu sendiri.
Pada taraf ulama tersebut tidak pernah terjadi klaim merekalah yang paling mempunyai kredibilitas yang terbaik. Mereka saling menghormati adanya perbedaan tersebut karena metode-metode yang mereka pakaipun berbeda.
Tapi, pada beberapa abad terakhir terjadilah klaim para pengikut ulama mazhab bahwa apa yang diajarkan oleh ulama utama mereka yang paling benar sesuai dengan Syariat yang digariskan Allah dan yang lebih parah lagi para pengikut ini saling menjelek-jelekkan satu dengan lainnya, padahal apa yang disampaikan oleh Ulama mereka belum tentu adalah yang paling benar walaupun melalui kajian yang amat rumit.
Dari perang urat saraf inilah, bagaimana sikap kita sebagai umat muslim di masa modern ini dituntut untuk kembali mengkaji apa sebenarnya pokok permasalahan yang mendasari adanya perbedaan tersebut.
Semoga dengan pembahasan ini akan membuka pintu hati kita untuk lebih sabar, menghormati orang lain, toleransi dan lebih serius untuk kembali membuka khazanah keilmuan Islam.

BAB II
APAKAH ITU MAZHAB?
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq).
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Menurut Muhammad Husain Abdullah, istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.”
Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil Quran dan sunnah seringkali menyisakan ruang yang memungkinkan orang berbeda pendapat dalam menyimpulkan konklusi hukumnya. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahkan hal itu bukan hanya dialami oleh kita yang sama saja, tetapi juga terjadi di kalangan para sahabat Nabi.
Tidak jarang para sahabat nabi berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan atas dalil yang sama. Apalagi setelah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat menyebar ke seluruh wilayah. Mereka menemukan begitu banyak fenomena baru yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan di masa hidup bersama Rasulullah SAW.
Walhasil, meski pernah sama-sama hidup di bawah naungan didikan nabi, namun tidak ada jaminan mereka selalu punya pandangan sama dalam segala hal.
Apalagi mengingat di masa masih hidupnya nabi SAW sekalipun, para sahabat pun ada di antara para sahabat yang utama dan ada di bawah itu dalam hal berijtihad. Ada di antara mereka yang ahli fiqih tapi juga ada yang awam.
Tentunya semua akan melahirkan perbedaan pandangan hukum. Namun demikian, perbedaan itu tidak berarti perpecahan, apalagi persengketaan. Sama sekali bukan. Sebab perbedaan di kalangan para sahabat itu sangat manusiawi.
Ketika seseorang berpendapat, atau ketika seseorang mengikuti pendapat orang lain yang dianggapnya baik, dia sedang bermazhab. Bedanya dengan mereka yang dianggap bermazhab hanyalah pada sumber mazhabnya.
PESAN – PESAN IMAM MAZHAB
Al-Imam Abu Hanifah mengatakan: “Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku". Beliau juga mengatakan: “Tidak halal bagi siapapun mengikuti perkataan kami bila ia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya.”
Al-Imam Malik mengatakan: “Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” Beliau juga berkata: “Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi (yang wajib diterima).”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” Beliau juga berkata: “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits, tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.”
Al-Imam Ahmad berkata: “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber yang telah mereka ambil.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, berarti dia berada di jurang kehancuran.”
WAJIB BERMAZHAB VS TAK (WAJIB) BERMAZHAB
Melihat tentang pendapat para ulama di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ulama mazhab besar tidak mau apa yang mereka ajarkan adalah sesuatu yang paling benar dari yang lainnya.
Bentuk penghormatan atas pendapat orang lain, toleransi atas apa yang dilakukan orang lain telah membawa mereka dalam keharmonisan yang akhirnya harus dirusak oleh para pengikut mereka, orang – orang yang mengaku-aku bahwa apa yang diajarkan oleh alim mazhab mereka adalah yang paling benar, sedangkan alim mazhab tidak pernah ditemukan kewajiban mengikuti mereka.
Terus kemudian mengapa harus ada statement yang muncul untuk adanya kewajiban bermazhab pada mazhab tertentu, apa sebenarnya melatarbelakangi munculnya kewajiban tersebut?.
Orang-orang yang berangkat untuk mewajibkan mengikuti mazhab tertentu adalah mereka yang berangkat dari satu kaidah ushul Fiqh “ Ma la Yatimmu-l-Wajib illa bihi fahuwa wajibun” yang artinya “apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, maka wajib hukumnya”. Yakni dalam pemahaman bahwa seorang muslim apabila mengerjakan amalan ibadah wajib maka hokum untuk mengikuti salah satu mazhab juga wajib karena mazhab di anggap sebagai perantara untuk melaksanakan ibadah yang wajib tersebut.
Ada pula pendapat tentang hal diatas, pendapat ini berangkat dari pemikiran bahwa imam mazhab telah memiliki metodologi tersendiri dalam membangun mazhab. Dan semua pendapatnya itu berangkat dari metodologi yang telah disusunnya, bukan sekedar pendapat yang bermunculan secara tiba-tiba.
Dengan demikian maka pendapat-pendapat yang bersumber dari satu mazhab tertentu lahir dari sebuah proses yang teratur dan memiliki pola istinbath yang konsisten. Sehingga bila berpindah-pindah mazhab akan mengakibatkan ketidak-konsistenan dalam metodologi. Menurut pendukung pendapat ini, seseorang harus konsisten dalam metodologi mazhab.
Ada juga pendapat tentang pewajiban mengikuti salah satu mazhab untuk kalangan khas yaitu yang tidak berkemampuan dari segi akalnya, seperti bodoh, kurang siuman (tetapi tidak gila), kekacatan dari kesempurnaan akal dan lain-lain. Termasuk juga seseorang yang jauh dari sumber ilmu dan masyarakat Islam seperti orang asli di pendalaman atau siapa saja yang baru memeluk Islam. Juga termasuk kanak-kanak yang baru belajar atau orang yang baru bertaubat. Bagi mereka sewajibnya mengikuti seseorang karena tidak ada jalan lain bagi mereka untuk beribadah yang selamat dari kesesatan atau meninggalkan agama sama sekali.
Adapun pendapat yang tidak mewajibkan bermazhab berlandasan yang jelas dari pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama mazhab yang secara eksplisit menyebut bahwa pendapat mereka bisa saja berubah jika ada dalil yang lebih kuat dari pendapat mereka. Sebagai penekanan mereka menegaskan bahwa Allah dan Rasulullah tidak pernah mewajibkan umat muslim untuk mengikuti salah satu mazhab.
Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga.
Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi mazhab qadim-nya dengan mazhab jadid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah: Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi mazhabku.
Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi. Bila di dalam sebuah mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
Menurut para pendukung pendapat ini, seseorang boleh mengikuti pendapat yang berbeda dari beragam mazhab. Karena tidak ada perintah untuk berpegang tegus kepada satu orang mujtahid saja. Ketika seseorang bermazhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah atau pun Al-Hanabilah, maka pada suautu masalah tertentu boleh saja dia tidak sepakat dengan pendapat mazhabnya. Hal seperti itu lazim terjadi dan sama sekali tidak ada larangan.
Allah sendiri tidak pernah mewajibkan seseorang untuk betaqlid pada mujtahid tertentu. Kalaupun ada perintah, maka Allah memerintahkan seseorang untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum.
Pada beberapa tahun yang silam di Jepang, tepatnya di Tokyo diadakan konferensi Islam. Dalam acara itu ada seorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu tampil syaikh Muhammad Sulthan Alma'sumi Al Khajandi, seorang pengajar di Masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik yaitu para sahabat. Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilahkan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Alqur'an dan sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. Seorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seorang fanatik.
Lain lagi pendapat Syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya "Alla Mazhabiyyah , Akhtharu bida'in fil Islam" (Tidak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi' dan golongan muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Alqur'an dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi' Sementara orang yang belum faham terhadap Alqur'an dan sunnah diharuskan mengikuti ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama. Golongan yang kedua ini disebut muqallid. Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang. Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya "Al mazahibul muta'ashshabah hiyal bid'ah aw bid'atut ta'ashshubi al Mazhabi" Beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid, muttabi dan muqallid. Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Alqur'an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istinbath (pengambilan hukum) mereka dari Alqur'an dan sunnah maka kewajiban mereka adalah 'ittiba'. Jelasnya ittiba' -mengutip perkataan Abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya."
Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, -sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali'tishom- (1) Tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli di bidang agama. (2) Tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikut selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah, maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terahir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Berarti fenomena bermadzhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per-orang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula.
Berkaitan dengan masalah bermazhab ini ada dua hal yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
1. Fanatisme (ta'ashshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda : "Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala."
2. Tatabbu' rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya.
SIKAP MUSLIM TERHADAP MAZHAB
Mazhab yang berkembang saat ini ada 4 mazhab besar, mazhab tersebut telah melewati perjalanan yang cukup panjang sehingga masih eksis sampai saat ini. Keeksisan mazhab-mazhab ini tidak lain dipengaruhi oleh adanya konsistensi para pengikutnya untuk melaksanakan apa yang difatwakan oleh imam mazhab mereka.
Fatwa adalah sebuah pendapat, dan pendapat akan muncul sesuai dengan kemampuan keilmuan dari orang yang mengeluarkan fatwa yang tak lain adalah produk manusia setelah memahami apa yang disampaikan Allah melalui Rasul-Nya. Karena fatwa merupakan produk manusia, maka tidak sepantasnya seorang mengagung-agungkan mazhab yang ia peluk untuk merendahkan mazhab lain yang berseberangan karena produk manusia selalu bersifat relative.
Mazhab merupakan kumpulan pendapat oleh seorang alim untuk mempermudah para muridnya mempelajari Islam. Namun tetap harus digarisbawahi bahwa pendapat manusia adalah selalu bernilai relative tergantung pada tempat dan waktu.
Bagi muslim yang sudah mengerti tentang Islam sekali lagi dengan penegasan tak pelak untuk melakukan pemaksaan mengikuti salah satu mazhab, namun bagi muslim pemula maka demi kemudahan dan kemaslahatan di kemudian hari maka diperbolehkan baginya untuk belajar satu mazhab dari beberapa mazhab yang ada dengan catatan tanpa mengenyampingkan adanya mazhab lain yang mungkin pendapatnya berseberangan dengan mazhab yang ia pelajari. Sehingga ketika seorang muslim pemula mau memahami perbedaan yang ada, tidaklah akan timbul fanatisme berlebihan yang bersifat destruktif.

PENUTUP
Mazhab, merupakan kumpulan metode dan hasil pandangan ulama pada hal-hal yang menjadi tuntunan dalam menjalankan ibadah umat Muslim tetapi dengan berbagai cara atau metodologi yang berbeda maka hasil pendapat setiap alim berbeda satu dengan lainnya.
Hal tersebut tidaklah menjadi masalah yang perlu untuk diperdebatkan terlalu panjang karena perdebatan dalam hal ini hanya memecah belah umat Islam, karena ketika kita membandingkan pendapat satu dengan yang lainnya maka titik temu diantara hanya dalam beberapa hal, selainnya banyak pertentangan yang ditemui kemudian.
Bermazhab ataupun tak bermazhab bukanlah sebuah esensi dalam pelaksanaan ibadah. Mazhab adalah sebuah fasilitas bagi seorang muslim yang mempermudah dalam melaksanakan ibadah bagi para pemula. Namun bagi mereka yang telah paham agama, mazhab merupakan sarana untuk diteliti guna kepentingan amaliyah yang ilmiah dengan benrsandar pada dalil yang paling kuat.
Maka, sebagai akademisi sikap yang harus kita ambil adalah mengkaji, membandingkan, serta mengkritisi hasil pemikiran para ulama mazhab yang kemudian kita mengambil mana yang lebih kuat untuk dijadikan panduan pelaksanaan ibadah karena saat ini bukanlah waktu untuk bersengketa mempertahankan yang tidak 100% benar, namun waktu untuk kembali mengkaji mana diantara dalil yang paling kuat untuk dijadikan panduan pelaksanaan ibadah.

No comments:

Post a Comment